RESOLUSI KONFLIK HORIZONTAL DI MASYARAKAT
RESOLUSI KONFLIK HORIZONTAL DI MASYARAKAT
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MPU TANTULAR
Santiamer Silalahi, C.Me., Nim : 243300020039
Dosen Pengampu : Serepina Tiurmaida, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom
Konflik horizontal. Foto : antaranews.com
1. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, manusia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Selama pebedaan masih ada, konflik adalah sesuatu yang wajar dan tak dapat dihinari. Konflik merupakan keadaan dimana anggota warga masyarakat yang saling bertikai, bertentangan, bersaing dengan keinginan untuk saling menyingkirkan, menjatuhkan mengalahkan hingga memusnahkan dengan atau tanpa kekerasan. Kita dapat menemukan ragam konflik sosial di tengah masyarakat, salah satunya adalah konflik horizontal. Konflik horizontal merupakan bagian dari konflik sosial. Konflik horizontal, adalah pertentangan atau perselisihan yang terjadi antar individu, kelompok atau golongan yang memiliki kedudukan yang relatif sama dan sederajat. Kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik adalah kesenjangan sosial, perbedaan suku, ras, dan agama.
Contoh konflik horizontal yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat antara lain: Tawuran antara sesama pelajar; Konflik antar sesama pendukung sepakbola; Konflik antar sesama profesi; Konflik antar ras, suku, dan agama; Serta konflik antar sesama organisasi kemasyarakatan (Ormas). Di antara contoh konflik horizontal di atas, penulis memfokuskan pembahasan pada konflik antar agama di Indonesia dan resolusinya.
II. Sejarah Dan Akar Konflik Agama Islam-Kristen
Indonesia adalah negara plural, hal ini dapat diketahui dari fakta banyaknya ragam sukubangsa, adat budaya, dan agama yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Di satu sisi ia merupakan kekayaan dan kekuatan yang dimiliki Indonesia dan pada sisi lain mengandung kerawanan-kerawanan yang dapat dipergunakan untuk mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan sehingga menimbulkan perpecahan. Dapat juga dipakai sebagai alat adu domba oleh negara lain. Pluralitas kultural seringkali dijadikan alat untuk memicu munculnya konflik suku, agama, ras, dan antar golongan (Rahardjo, 2005:1 dalam Christiany Judhita, 2016). Kalau diteliti lebih mendalam, sesungguhnya faktor-faktor utama penyebab timbulnya konflik bukan berawal dari persoalan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan politik semata, tetapi adanya agenda yang lebih besar dari sekelompok orang tertentu untuk menjadikan Indonesia menjadi negara Islam Kaffah. Ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan politik hanyalah sebagai pintu masuk untuk menghadirkan konflik sebagai pembenar bahwa selama Islam Kaffah tidak diterapkan, ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik tidak akan pernah dapat teratasi. Karena hanya dengan Syariah, keadilan, kesejahteraan, kedamaian, dan ketenteraman di Indonesia akan benar-benar terwujud. Sedang dengan Khilafah, Indonesia akan menjadi bagian dari dunia Islam kuat dan mulia. Tidak seperti Sekarang yang terus menerus dalam tekanan negara asing. Jadi, perjuangan penegakan Syariah sesungguhnya adalah bentuk kecintaan amat dalam pada negeri ini. Inilah paham kebangsaan yang benar, yakni semangat untuk membawa negeri ini kepada penghambaan yang hakiki kepada Allah Swt, Dzat yang telah memberikan kemerdekaan dari penjajahan, melalui penerapan Syariah dalam seluruh aspek kehidupan. Juga, Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, milik Allah, maka mestinya ditata dengan syariah (M. Ismail Yusanto, Khilafah Jalan Menuju Kaffah, 2015: 9, 29).
Perlu penelitian mendalam dan objektif untuk membuktikan, bahwa pembubaran paksa pelaksanaan ibadah, penutupan bahkan pembongkaran paksa rumah ibadah penganut agama tertentu yang masih tetap berlangsung hingga hari ini oleh sekelompok warga / massa dengan mengatasnamakan islam bukan didalangi oleh pelopor pembentukan negara Indonesia Islam Kaffah. Pembuktian tersebut sangat diperlukan untuk menghindari timbulnya konflik yang dipicu oleh yang bersifat pribadi dan didalangi aktor intelektual (Kasus konflik antara agama di Poso dan Ambon).
1. Sejarah Konflik Agama Islam-Kristen
Sejak awal, hubungan Islam dan Kristen bersifat ambivalen, dapat bersifat konflik dan bisa damai. Contohnya, Alquran mengajak dialog dengan Ahli Kitab, Yahudi dan Kristen, dalam suasana yang dinamis. Ajaran Alquran juga menganjurkan kaum muslimin mengakui Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, ambivalennya, Alquran secara tegas menyalahkan keyakinan tentang trinitas, ketuhanan Yesus. Alquran menyampaikan bahwa umat Nasrani adalah umat yang paling bersahabat dengan umat Islam, tetapi Islam juga memerintahkan pengikutnya untuk memerangi ahli kitab yang menolak keyakinan mengenai Tuhan dan hari akhir sampai mereka membayar jizyah.
Alquran meletakkan sikap dasar kaum muslimin terhadap umat Nasrani dengan pertimbangan-pertimbangan politik, ekonomi, dan realitas sosial bukan pertimbangan teologi. Karena Alquran mengakui Nasrani sebagai satu keyakinan yang benar dan sah, agama ini bisa hidup dengan berbagai bentuk dan ekspresinya. Teologi Kristen mendapat tempat dalam sejarah Islam sebagai penyelamat berbagai sistem keagamaan dan filsafat sebelumnya. Tetapi tidak demikian dengan agama Yahudi di mana ajarannya merupakan problem besar yang mendapat porsi perhatian serius, setelah melalui sejarah keagamaan yang panjang dan tragis, meski terpisah dari ajaran Nasrani.
Pengakomodiran keberatan Johannes Latuharhary terhadap frasa “syariat Islam” dalam pembukaan UUD 1945 oleh Soekarno-Hatta dianggap sebagai kegagalan golongan Isam memperjuangkan Syariah Islam sebagai dasar negara Indonesia.
2. Akar Konflik Agama Islam-Kristen
1) Klaim Eksklusif masing-masing agama
a. Agama Islam dan Yudaisme (agama Yahudi) sama-sama lahir dari aktivitas kultural dan keagamaan yang intens. Tidak demikian dengan agama Kristen. Kristen dicap sebagai sempalan Yudaisme. Istilah “Kristen” pertamakali digunakan di Antiokhia (Sekarang Antakya, sebuah kota di Turki) sekitar tahun 40-44 M. Kristen merujuk pada pengikut Yesus.
Para pimpinan gereja meyakini bahwa Kristen merupakan manifestasi kebenaran dan memandang agama itu sebagai pewaris final kebenaran.
a. Doktrin Kristen Eksklusif menyatakan, bahwa gereja adalah satu-satunya sumber keselamatan (Saint Agustine).
b. Islam Eksklusif menyatakan, bahwa Agama Islam adalah agama yang benar di sisi Tuhan. Siapa yang menganut agama selain Islam, maka ia dianggap salah dan termasuk oang yang merugi. Bahkan kalangan pemikir Islam puritan lebih menguatkan tesis itu ketimbang ayat-ayat Alquran yang secara tegas mengisyaratkan pandangan iman dan keselamatan yang lebih universal dan inkulsif.
c.
Kristen
dan Islam sama-sama mengklaim sebagai pembawa risalah universal bagi umat
manusia dan pembawa kebenaran yang final.
2) Gagal Paham
Atas
percepatan pembasmian ras hina dari daerah Kristen dalam Perang Salib yang
diproklamirkan Paus Urban II pada 27 November 1905. Paus Urban II mengemukakan
maksudnya seolah-olah sesuai dengan ajaran Kristen yang sering diteriakkan
tentara Kristen “Le Volt!” (Tuhan menghendaki ini!) saat menyerang
kota-kota Islam tanpa kompromi.
3) Penghancuran penganut agama lain atas nama agama
Jargon dan semangat perang salib yang berbunyi hancurkan Islam dan musnahkan pemeluknya sering diangkat ke permukaan oleh pemimpin Barat yang anti Islam hingga saat ini. Pembentukan Negara Israel misalnya, di mana bagian dari rencana jangka panjang Barat untuk mewujudkan keyakinan dan peradaban mereka.
4) Tidak Percaya
Kristen tidak mempercayai (1) Alquran menegaskan bahwa secara umum Tuhan melarang seseorang memerangi orang lain dalam hal keyakinan, atau mengusir keluar dari negerinya. (2) Islam menyuruh setiap orang berbuat baik dan adil kepada siapa saja, karena Tuhan mencintai orang yang berbuat adil. (3) Alquran mengakui dan menyemangati Etika dan kemajemukan sosial paling tidak antara umat Islam dengan ahli kitab. (4) Etika peperangan dalam Islam dicontohkan oleh khalifah pertama Abu Bakar, secara mengesankan dengan kata-kata negasi (larangan) dan imperasi (perintah). Misalnya, “jangan lakukan pengkhianatan”, “jangan membunuh anak kecil, orang laki-laki atau orang perempuan tua”, “jangan menebang pohon yang berbuah”, “jangan membantai kambing, sapi atau unta kecuali untuk dimakan”, “biarkan dan lindungi orang yang tekun beribadah, apapun yang mereka sembah”.
III. Paradigma Baru mewujudkan Toleransi Antar Umat Beragama
Harus jujur diakui bahwa sepanjang sejarah manusia, umat Islam dan Kristen hidup dalam dunia yang berbeda, Darul Islam dan Gereja Militan. Namun demikian dengan mengakui dan menghargai sejarah Islam-Kristen serta memahami secara jernih dan objektif akar masalah konflik agama Islam-Kristen, maka akan ditemukan resolusi yang bersifat win-win solution.
Upaya-upaya resolusi konflik yang telah dilakukan selama ini baik yang berskala internasional maupun nasional perlu terus diaktualisasikan seiring dengan perkembangan jaman dan dikaitkan dengan munculnya generasi Z dan Alpha. Nilai-nilai resolusi yang terkandung dalam deklarasi tentang agama-agama non-Kristen dan konsili Vatikan II, Tri Kerukunan Umat Beragama (Indonesia); Melanjutkan dialog-dialog agama antar tokoh agama/intelektual Islam-Kristen dengan mengesampingkan klaim eksklusifisme. Selain daripada itu perlu dilakukan rekonsiliasi yang didahului penyampaian pengakuan bersalah dan permintaan maaf yang tulus kepada pihak-pihak yang mengalami penderitaan lahir-bathin dalam sejarah konflik agama Islam-Kristen di masa lalu. Dalam hal ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI hendaknya menahan diri untuk tidak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat dirkriminatif. Berlaku adil dalam hal memberi kesempatan kepada setiap warga negara dalam pemerintahan tanpa memandang asal, suku dan agamanya dan memenuhi kewajiban negara yaitu menjamin kebebasan setiap orang beragama serta kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
IV. Penutup
Dari pemaparan sebagaimana disebutkan pada bagian awal dan pertengahan tulisan ini, dapat kita gambarkan bahwa sejatinya terukir dalam sejarah bahwa pernah terjadi hubungan harmonis antara umat Islam-Kristen. Konflik Islam-Kristen dipicu oleh individu-individu pemimpin yang didorong oleh kepentingan pribadi dan kelompok untuk mendominasi bidang ekonomi, energi, politik, dan kekuasaan.
Terberkatilah bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang plural telah memiliki alat perekat dan pemersatu bangsa, Philosophy gronslag, Way of Live, yaitu Pancasila.
Daftar Bacaan :
1. Mallia Hartani., Soni Akhmad Nulhaqim., Analisis Konflik Umat Bearagam di Aceh Singkil. Fisip Universitas Padjadjaran.
2. M. Ismail Yusanto, Khilafah Jalan Menuju Kaffah.Irtikaz, 2016.
3. M. Kholid Syeirazi, Membedah Islam Politik, Politik Islam, dan Khilậfah. Ilusi Negara Khilafah. Esai - esai tentang Khilafah, Politik Takfir, dan Neo Khawarij.
4. Zainal Arifin, Membaca Kembali Akar Konflik Islam-Kristen. Religo, Jurnal Studi Agama-agama. Volume 1, Nomor 1, Maret 2016
Website :
Kumparan.com
Comments
Post a Comment