ANALISIS KONFLIK
ANTARA
MASYARAKAT DENGAN PEMERINTAH
(Studi Kasus di Kelurahan
Halim Perdanakusuma, Kecamatan Makasar Jakarta Timur)
Abstraksi
Tulisan
ringkas ini menguraikan tentang kronologi konflik, Akar konflik, bentuk konflik
dan penyelesaian konflik antara masyarakat dan pemerintah. Latar belakang konflik, adalah klaim sepihak
dari pemerintah Cq. Panglima TNI Cq. Kepala Staf Angkatan Udara Cq. otoritas pengelola Lapangan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta Timur atas kepemilikan bidang lahan seluas +/- 32
Ha yang terjadi di kelurahan Halim Perdanakusuma, kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
Konflik yang berkepanjangan ini telah mengakibatkan masyarakat yang telah
menguasai secara fisik lebih dari 20 tahun bidang lahan tersebut tidak mendapat
pelayanan minimum dan administrasi kependudukan dari pemerintah. Bentuk konflik
sosial yang terjadi di di kelurahan Halim Perdanakusuma, kecamatan Makasar,
Jakarta Timur yaitu konflik vertikal. Konflik vertikal terjadi antara
masyarakat dengan pemerintah. Sedangkan indikasi potensi konflik horizontal
telah mulai timbul dalam masyarakat itu sendiri antara kelompok yang pro dan
kontra karena adanya perbedaan kepentingan Langkah penyelesaian konflik yang
dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah hanya melalui litigasi.
Kata kunci : Konflik, Masyarakat,
Pemerintah, dan Litigasi
____________________________________________
Santiamer
Silalahi, C.Me.
E-mail
: gohebalordup@gmai.com
____________________________________________
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mpu
Tantular Jakarta.
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state). Luas daratan 1.919.440 km2 atau 37% dari luas
keseluruhan Indonesia 5.193.250 km2.
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata
1,11% dan pembangunan nasional meningkat
setiap tahun (BPS, 28 Juni 2024). Pertambahan jumlah penduduk dan semakin
meningkatnya pembangunan nasional akan berpengaruh langsung terhadap
peningkatan kebutuhan lahan daratan. Jumlah penduduk dan kebutuhan ekonomi
meningkat setiap tahun sementara tidak
ada penambahan luas daratan bahkan berkurang. Kondisi ini merupakan akar
masalah timbulnya berbagai konflik.
Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks, konflik merupakan hal yang selalu ada dan sulit untuk dihindari. Perselisihan, percekcokan, pertengkaran, perbedaan pendapat yang berujung pada ketegangan merupakan phenomena sosial yang tidak asing lagi, bahkan sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat, penafsiran, pemahaman, kepentingan atau perbedaan lainnya. Konflik terjadi antar individu (Interpersonal conflict), antar kelompok (intergroup/horizontal conflict), konflik antar masyarakat dengan pemerintah (vertical conflict) dan konflik antar negara (interstate conflict). Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri". (Max Weber).
Konflik merupakan proses disosiatif, namun demikian, harus diakui bahwa konflik sebagai salah satu bentuk proses sosial bagaikan dua sisi satu mata uang. Di satu sisi memiliki sifat positif dan sisi negatif pada sisi lainnya. Apabila konflik mampu dikelola dan diatasi dengan baik oleh setiap masyarakat atau penyelenggara pemerintahan, maka akan berdampak baik bagi kemajuan dan perubahan masyarakat. Namun sebaliknya, jika konflik yang terjadi di tengah masyarakat tidak mampu dikelola dan diatasi dengan baik, maka konflik akan menimbulkan dampak buruk hingga timbulnya berbagai kerusakan baik itu fisik maupun non-fisik, ketidakamanan, ketidakharmonisan, perilaku antisosial dan asosial, bahkan sampai menciptakan ketidakstabilan antar masyarakat kelurahan Cipinang Melayu, kecamatan Makasar, Jakarta Timur dengan pemerintah.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Konflik
Secara Sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau bisa juga lebih, dapat antar kelompok, yang caranya bisa saja dilakukan dengan menghancurkan atau membuat tak berdaya kelompok tersebut. Secara etimologi Konflik (conflict) berasal bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan (Soerjono Soekanto (2006). Pritt dan Rubbin dalam Syahril Ramadhan (2008), konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perception of differences in interests) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat tercapai secara simultan.
Konflik telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air, emas, mineral, hutan serta berbagai sumber daya alam yang terkandung di atas dan didalamnya. Setiap kelompok sosial selalu ada benih-benih pertentangan antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah.
2.
Jenis-Jenis Konflik
Ditinjau dari aspek materinya ada 4 jenis konflik (Soetopo, 1999),
yaitu :
a. Konflik Tujuan, yaitu konflik
terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang bertentang-an.
b. Konflik Peranan, yaitu konflik yang timbul karena karena manusia memiliki
lebih dari satu peranan dan tiap peranan
tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
c. Konflik Nilai, yaitu konflik yang muncul karena pada dasarnya nilai yang
dimiliki setiap individu dalam kehidupan sehari-hari atau dalam organisasi
tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan
kelompok, kelompok dengan organisasi.
d. Konflik Kebijakan, yaitu
konflik karena ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan
kebijakan yang dikemukakan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.
Berdasarkan Polanya, maka konflik dapat dibagi ke dalam 3 bentuk (Fisher 2001) :
a. Konflik Latent, Konflik yang sifatnya tersembunyi. Untuk dapat menanganinya
konflik ini perlu diangkat ke permukaan.
b. Konflik Terbuka, adalah konflik yang
berakar dalam dan nyata.
c. Konflik di permukaan, adalah konflik yang berakar dangkal. Konflik ini muncul hanya karena kesalah-pahaman mengenai sesuatu. Mengatasinya dengan komunikasi yang tulus.
Selain itu Soerjono Soekanto dalam Furkan Abdi (2009), membagi konflik sosial kedalam lima bentuk khusus berdasarkan tingkatannya, yaitu sebagai berikut :
a. Konflik atau Pertentangan
pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua
individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
b. Konflik atau
Pertentangan Rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan
ras.
c. Konflik atau
pertentangan antara kelas-kelas sosial yang
disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
d. Konflik atau
pertentangn politik, yaitu konflik yang terjadi
akibat adanya perbedaan kepentingan atau tujuan politis seseorang maupun
kelompok.
e. Konflik yang bersifat Internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan atau suatu negara tidak menghormati kedaulatan negara lain yang kemudian dapat menimbulkan perang, contohnya Rusia dengan Ukraina, Hamas dengan Israel.
3. Faktor Penyebab Konflik
Sebagaimana hakikat yang terkandung dalam ciri utama Sosiologi, ia memandang bahwa masyarakat itu selalu dalam perubahan yang dinamis dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena kesenjangan perlakuan hubungan-hubungan antar manusia dalam aspek sosial, ekonomi, politik, hukum, dan kesempatan melaksanakan peribadatan. Kurang meratanya kemakmuran dan diskriminasi akses terhadap sumber daya yang kemudian akan menimbulkan masalah-masalah dalam masyarakat (Fisher, Simon, dkk. 2001).
Menurut Soejono Soekanto
(2006), faktor-faktor yang menyebakan timbulnya konflik antara lain yaitu:
a.
Adanya perbedaan individu, meliputi perbedaan prinsip dan
perasaan.
b.
Adanya perbedaan latar belakang, budaya, dan agama sehingga membentuk pribadi-pribadi
yang berbeda-beda, individu sedikit banyak akan terpengaruh oleh pola pemikiran
dan pendirian kelompoknya, dan itu akan menghasilkan suatu perbedaan individu
yang dapat memicu konflik.
c.
Adanya
perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Konflik akibat perbedaan
kepentingan ini terkait dengan bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
d. Terjadinya perubahan-perubahan nilai-nilai budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Diana Francis (2006), sebab-sebab
terjadinya konflik antara lain:
a. Komunikasi. Gagal faham berkaitan dengan
penggunaan kata/diksi maupun kalimat yang sulit dimengerti serta informasi yang tidak akurat dan tidak
lengkap.
b. Struktur. Pertarungan kekuasaan antara pemilik
kepentingan atau sistem yang bertentangan, persaingan untuk merebutkan
sumberdaya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok
kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
c. Pribadi. Adanya asynkronisasi tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi dengan perilaku yang harus diperankan dan dinamika perubahan dalam pradigma.
4. Tahapan Konflik
Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk menyembuhkan luka pada dirinya sendiri. Luka dalam arti kerusakan pada jaringan tubuh akibat sayatan, bakar, benturan, dan sebagainya yang terjadi pada tubuh manusia (Smeltzer & Bare, 2010). Tidak demikian halnya konflik. Konflik yang terus dibiarkan berlangsung tanpa adanya upaya penanganan atau penyelesaian yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Dalam rangka upaya
menyelesaikan konflik perlu menganalisis situasi konflik. Pada hakikatnya situasi konflik akan selalu berubah dari waktu ke waktu
seiring dengan berjalannya waktu. Ada beberapa alat bantu untuk menganalisis situasi
konflik, salah satunya adalah penahapan konflik (Fisher, 2001). Tahap-tahap
situasi konflik adalah :
a.
Pra-Konflik. Merupakan tahap dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran
di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi
dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui
potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan di antara
beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari komunikasi satu sama lain.
b. Konfrontasi. Pada tahap ini, konflik menjadi
semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para
pengikut atau pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku
konfrontatif lainnya.
c. Krisis. Tahap ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan memuncak dan
kekerasan terjadi paling hebat. Dalam
konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari
kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara dua pihak kemungkinan putus,
pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.
d. Akibat. Pada tahap ini,
pihak-pihak yang berkonflik mungkin saja setuju bernegosiasi untuk
menyelesaikan konflik antar mereka tanpa mediator. Dapat saja ada pihak ketiga
yang mempunyai otoritas atau yang lebih berkuasa akan memaksa kedua pihak yang
berkonflik untuk menghentikan konflik.
e. Pasca-Konflik. Tahap ini dalah tahap pengakhiran berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal di antara kedua pihak. Pada tahap ini, potensi kembali ke tahap pra-konflik yang lebih hebat yang berujung pada konfrontasi mungkin saja terjadi apabila isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka saling bertentangan tidak diselesaikan secara menyeluruh dan win-win solution.
5. Akibat Konflik
Konflik dapat merupakan proses segregasi struktur sosial. Dalam proses segregasi tersebut terjadi pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial.. Konflik individu atau kelompok dapat memperkuat kembali identitasnya dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sosial sekitarnya, bahkan dapat memperkuat ketidakpercayaan (distrust) kepada pemerintah.
Konflik dapat berdampak positif atau negatif. Apakah suatu konflik akan berdampak positif atau tidak, tergantung dari persoalan yang dipertentangkan, struktur sosial dimana pertentangan tersebut terjadi, dan sifat konflik tersebut .bersifat positif, oleh karena itu ia mempunyai kecenderungan untuk memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma atau hubungan-hubungan sosial dalam kelompok bersangkutan sesuai dengan kebutuhan individu maupun bagian-bagian kelompok.
George Simmel kemudian diperluas oleh Lewis Alfred Coser dalam Furkan Abdi (2009), mengawali pemikiran tentang fungsi dari konflik sosial yang menyatakan, bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dapat memperbaiki perpaduan integrasi.
Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pertentangan atau
konflik, antara lain (Wirawan, 2010):
a. Solidaritas in group
bertambah/meningkat.
b. Kesatuan kelompok renggang bahkan
dapat hancur.
c. Terjadi perubahan kepribadian
individu.
d. Harta benda hancur dan korban jiwa.
e. Terjadinya diskriminasi terhadap Hak-hak konstitusional dan tradisional yang takluk.
Sebagai suatu kenyataan hidup di dalam masyarakat, konflik dapat saja terjadi ketika beberapa tujuan dan prinsip hidup dari masyarakat bertentangan satu sama lain.
6. Resolusi Konflik di dalam Masyarakat
Resolusi konflik adalah suatu cara individu atau kelompok untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu/kelompok lain secara sukarela. Resolusi konflik mensyaratkan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik guna memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri. Resolusi konflik merupakan suatu upaya perumusan kembali suatu solusi atas konflik yang terjadi untuk mencapai kesepakatan baru yang lebih diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Menurut Nasikun (1993), Metode penyelesaian konflik dapat dilakukan
dalam beberapa pendekatan (Nasikun, 1993) yaitu:
1) Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi (Negotiation)
adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan
bersama antara satu pihak dengan pihak lain secara damai.
2) Konsiliasi (Concillation)
Konsiliasi (Concillation), adalah upaya penyelesaian konflik yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga atau komisi (Nazarkhan Yasin, Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi, 2004).
3)
Mediasi (Mediation)
Mediasi (Mediation),
pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk berdamai, oleh karena itu mereka
bersepakat menunjuk pihak ketiga yang akan
memberikan ansehat-nasehat serta membangun adanya kesamaan pemahaman
penyelesaian terbaik dari konflik. Pelaksana mediasi disebut mediator,
4)
Arbitrasi (Arbitration)
Arbitari (Arbitration),
pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima peranan pihak ketiga
untuk memberikan keputusan dalam rangka penyelesaian konflik. Pelaksana
pengambil keputusan disebut arbitrer.
5) Litigasi (Litigation)
Litigasi (Litigation) adalah suatu proses hukum yang bertujuan menyelesaikan konflik melalui jalur peradilan.
C. HASIL DARI PENYELESAIAN KONFLIK
1. Kronologis Konflik
Pada tahun 1845, beberapa bulan sebelum Jepang kalah perang dari
Sekutu, Tentara Jepang mengambil secara paksa lokasi tanah sekitar 30 Ha dari
penduduk asli termasuk di dalamnya bidang lahan hak milik adat penduduk asli ±
32 Ha untuk kepentingan Angkatan Udara Jepang dan akan dikembalikan kepada
pemiliknya apabila perang telah selesai. Ternyata Jepang kalah perang. Penduduk
asli kembali bercook tanam di lokasi bidang lahan tersebut pada tahun 1945.
Pada tahun 1966 girik-girik atas objek bidang lahan konflik
sebanyak 511 lembar telah diambil pemerintah Cq. Panglima TNI Cq. Kepala Staf TNI Angkatan Udara Cq.
Panglima Komando Operasi Angkatan Udara. Girik-girik yang diambil tersebut
belum dikembalikan kepada pemiliknya hingga sekarang.
Konflik antara masyarakat dengan pemerintah berawal dari adanya
perintah dari pemerintah Cq. Menteri Dalam Negeri RI, Cq. Gubernur provinsi DKI
Cq. Walikota Jakrta Timur pada 15 April 2003 untuk melakukan pengosongan lokasi
dari pemukiman penduduk tanpa meneliti terlebih dahulu data yuridis dan data
fisik, hal mana tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.yang
berimplikasi kerugian masyarakat.
2. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik
Faktor-faktor yang melatar belakangi konflik veritkal antara lain
:
a.
Masyarakat beleum menerima pengmebalian girik-girik yang dipinjam
pemerintah.
b.
Pemerintah kirang terbuka kepada masyarakat.
c.
Sdanya perbedaan kepentingan.
3. Dampak dari Konflik
a.
Adanya ketegangan antara masyarakat dengan pemerintah.
b.
Masyarakat yang telah menguasai fisik dan berdomisili di atas lahan konflik hingga 20 tahun lebih tidak pernah
mendapat pelayanan minimum dari pemerintah.
c. Pemerintah daerah provinsi DKI, pemerintah daerah kotamadya Jakarta Timur tidak berani menetapakan RT dan RW di wilayah kelurahan Cipinang Melayu dan sekarang dikenal sebagai Kelurahan Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur.
4. Resolusi Konflik
Usaha-usaha
resolusi konflik antara masyarakat dengan pemerintah ditempuh melaui jalur
hukum (Litigasi), di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Mahkamah Agung RI.
Putusan pengadilan Negeri Jakarta Timur adalah Niet Onvankelijk verklaard. Baik putusan Pengadilan Jakarta Timur
maupun Mahkamah Agung tidak menetapkan dengan jelas status kepemilikan lahan
konflik.
D. KESIMPULAN
Penyelesaian konflik
vertikal antara masyarakat dengan pemerintah tentang status kepemilikan lahan
seluas ± 32 Ha belum terselesaikan dengan baik hingga hari ini. Konflik yang
dibiarkan berlarut-larut berpotensi kembali kepada kondisi tahap pra-konflik
(Fisher, 2001) yang dapat berujung pada
konfrontasi.
Daftar Pustaka :
Diana,
Francis. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta:
Quills.
Fisher,
Simon, dkk. 2001. Mengelola Konflik:
Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak, Alih
Bahasa
S. N. Kartikasari, dkk. Jakarta: The British Counsil, Indonesia.
Noor,
Juliansyah. 2011. Metode Penelitian.
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Nasikun. 1993. Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Putusan Pengasilan Negeri Jakarta Timur No. : C1/Pdt.G/2004/PN.
Jkt Tim
Putusan Mahkamah Agung RI No. : 731/PKP/Pdt/2016.
Mantap abng
ReplyDelete