ANTROPOLOGI
BUHUL PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
DAN PEMBENTUKAN DESA ADAT
Santiamer Silalahi, C.Me
1. Pendahuluan
Berlandaskan pada kesejarahan dan konstitusional, desa adalah organisasi kesatuan masyarakat adat (Self governing community), bukan organisasi pemerintahan formal yang menjalankan fungsi-fungsi administrasi dari negara (Local state government), bukan juga sebagai daerah otonom (Local self-government) 1).
Paradigma Mahkamah Konstitusi tentang desa lebih menegaskan bahwa desa di Indonesia adalah rantai terbawah rezim pemerintah (Local government) bukan Local self-government sebagaimana dikemukakan Sosiolog Pedesaan dari IPB Bogor, Ivanovich Agusta2). Paradigma tersebut merupakan landasan yuridis lahirnya Keputusan MK No. : 128/PUU-XIII/2015 tentang asal calon perangkat desa dan kepala desa. Kemudian, MK menganulir Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU No. : 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Local government merupakan bagian dari sistem administrasi pemerintah daerah (Kabupaten/kota). Meminjam kata-kata John Clark, Local government timbul sebagai bagian dari pemerintahan negara atau pemerintahan daerah yang utamanya mengurus hal-hal yang berhubungan dengan penduduk/warga suatu daerah tertentu. Hal-hal yang berhubungan dengan penduduk/warga atau Masyarakat Hukum Adat, adalah hak-hak ulayat dan sistem hukum adat yang dianut dan diakui oleh masyarakat hukum adat.
Local self government atau desa otonom atau daerah otonom tingkat-III, bukan bagian dari sistem administrasi pemerintah daerah. Pengendalian oleh pemerintah diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 22/1948 dan UU No. 19/1965.
Self governing community adalah desa yang sistem pemerintahannya tidak menjalan-kan tugas-tugas administrasi dan pembangunan yang diberikan oleh pemerintah, tidak perlu ada Sekretaris Desa yang diisi oleh PNS, tidak perlu ada ADD, melainkan hanya mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Self governing community atau Desapraja adalah, kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai batas daerah tertentu, berhak mengurus rumah tangga sendiri, memilih penguasa, dan mempunyai harta benda sendiri. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Self governing community atau “zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeens-chappen”.
2. Sejarah Keberadaan Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat Hukum Adat merupakan subjek hukum khusus yang keberadaannya di - akui oleh UUD NRI Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai subjek hukum, maka keberadaan Masyarakat Hukum Adat perlu ditelaah apakah ia masuk dalam kategori subjek rejim hukum publik, subjek hukum keperdataan, atau gabungan di antara keduanya. Bila Masyarakat Hukum Adat merupakan subjek hukum publik, maka Masyarakat Hukum Adat merupakan bagian dari badan hukum publik atau menjadi badan hukum publik yang memperoleh kewenangan dari badan publik untuk melakukan kewenangan publik. Dalam hal ini, badan publik adalah negara atau pemerintahan dalam artian luas. Sedangkan bila Masyarakat Hukum Adat merupakan badan hukum privat, maka Masyarakat Hukum Adat tidak merupakan bagian dari pemerintahan melainkan diperlakukan sama sebagaimana badan hukum privat seperti perseorangan maupun badan hukum privat lainnya.
Pada masa kolonial keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk unit-unit ke-kuasaan lokal bukanlah bagian dari pemerintahan kolonial. Nagari, huta, marga, winua, mukim/gampong dan sebutan lainnya merupakan persekutuan-persekutuan atau masyarakat hukum adat yang berada di luar struktur pemerintahan kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, terutama pada masa demokrasi terpim-pin yang menghendaki penyegaran menjadikan Masyarakat Hukum Adat sebagai desapraja. Upaya ini terlihat dalam UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mencapai Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun gejolak politik terjadi yang ditandai dengan perubahan pemerintahan, UU Desapraja tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pemerintahan Orde Baru mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok - Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Melalui UU ini, semua bentuk pemerintahan di kampung-kampung dijalankan oleh pemerintahan desa yang kelembagaan dan kewenangannya ditentukan secara seragam oleh pemerintah pusat. Inilah yang disebut sebagai desa. Dengan demikian pemerintah memasukkan bentuk pemerintahan desa kepada Masyarakat Hukum Adat dan kelembagaan hukum adat tidak lagi mendapatkan tempat untuk menjadi pemerintah yang resmi di dalam Masyarakat Hukum Adat. Pada tahapan ini, Masyarakat Hukum Adat tidak mendapatkan tempat untuk diposisikan sebagai badan hukum publik yang menjadi bagian dari pemerintahan. Masyarakat Hukum Adat berada di luar lingkaran struktur pemerintahan dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979. Pada titik ini, Masyarakat Hukum Adat diperlakukan sama dengan entitas badan hukum privat lainnya seperti yayasan, perkumpulan, koperasi maupun perusahaan yang tidak melaksanakan tugas-tugas yang berasal dari otoritas publik yang diberikan oleh negara.
3. Jalan Tengah
Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu dari tulisan ini, bahwa Local self government atau desa otonom atau daerah otonom tingkat III, bukan bagian dari sistem administrasi pemerintah daerah. Sedangkan Self governing community adalah desa yang sistem pemerintahannya tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan pembangunan yang diberikan oleh pemerintah, tidak perlu ada Sekretaris Desa yang diisi oleh PNS, tidak perlu ada ADD, melainkan hanya mengatur dan mengurus masyarakat setempat.
Walaupun secara konstitusi benar, namun membuat desa menjadi self governing community adalah kemunduran. Membawa desa menjadi local self government adalah kebablasan dan bertentangan dengan konstitusi. Sampai dengan sekarang pemerintah masih menerapkan desa atau desa adat atau yang disebut dengan nama lain. Perbedaan kedua jenis desa tersebut, antara lain tampak pada pengertiannya, perangkat pimpinan dan tata kelolanya, serta tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Jalan tengahnya adalah menempatkan desa sebagai organisasi pemerintahan yang menggabungkan fungsi self governing community dengan local self government. Diharapkan dengan konstruksi demikian, kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini bagian dari Wilayah Desa ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. desa inilah yang dimaksud sebagai Desa atau Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah mengalami perubahan melalui UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sistem pemerintahan desa adat terdiri atas : Kepala desa dan perangkatnya, Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD), Lembaga Adat Desa (LAD) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pada umumnya, sistem pemerintahan desa belum memberdayakan masyarakat desa asal di perantauan (diaspora) untuk turut serta dalam program membangun desa dan desa membangun.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
1. Banyaknya
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa adat tidak menjadi
penghalang untuk tetap memperjuangkan penataan Desa Adat atas prakarsa
masyarakat itu sendiri, karena masih ada ruang dalam klausul-klausul peraturan
perundang-undangan yang bisa dimanfaatkan untuk menata Desa Adat.
2. Desa
atau Desa Adat adalah sumber Pusat Kekuatan Strategik (Strategic center of Gravity) bangsa Indonesia. Mengabaikan
pembangunan desa sama saja dengan memperlemah kekuatan nasional Indonesia yang pada gilirannya akan
menggerogoti Ketahanan Nasional Indonesia.
3. Menata Desa Adat adalah keniscayaan yang harus diupayakan terus-menerus perwujudannya. Peran aktif pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan prasyarat yang tidak boleh ditawar-tawar. Political will pemerintah untuk menata Desa Adat sangat dibutuhkan.
4.2. SARAN
1. Para
penggiat sosial budaya dan kemasyarakatan dianjurkan menggunakan diksi
tentang Desa atau Desa Adat yang sesuai
dengan nomenklatur yang telah digunakan oleh pemerintah dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dengan demikian kesalah pahaman
dengan pemerintah dapat dihindari.
2. Melihat
kecenderungan pemerintah untuk mengorganisir dan memberdaya-kan Desa atau Desa
Adat yaitu dimulai dengan penetapan Masyarakat Hukum Adat baik di tingkat Desa
maupun Kabupaten/Kota, maka sudah
saatnya paguyuban marga/suku-suku nusantara
mengorganisir diri dalam suatu lembaga masyarakat adat berdasarkan
genealogis, teritorial atau gabungan keduanya yang diakui oleh Pemerintah.
3. Paguyuban
marga/suku-suku nusantara dianjurkan lebih proaktif atau jemput bola kepada
pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
untuk mengisi lembaga kemasyarakatan Desa/Desa Adat, Badan Perwakilan Desa/Desa
Adat, dan lembaga Desa/Desa Adat sehingga pengawasan penggunaan dana desa,
Alokasi dana Desa dapat lebih efektif baik pada tahap pra perencanaan
(Penyusunan RPJMDes, RKPDes) dan tahap eksekusi hingga pelaporan. Demikian juga
peradilan Adat dapat direalisasikan.
4. Paguyuban marga/suku-suku diharapkan lebih proaktif terlibat dalam penyusunan naskah akademik Peraturan Daerah tentang Pengakuan, Perlindungan dan penetapan Masyarakat Hukum Adat dan Desa Adat di daerah-daerah yang belum ada peraturan daerahnya tentang Masyarakat Hukum Adat dan Desa Adat.
1)Sutoro Eko, Staf Pengajar Program Pascasarjana (S-2) Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD”
2)Ivanovich Agusta, Desa Dalam Rezim Pemerintahan, Kompas, Kamis 26 Agustus 2016.
Comments
Post a Comment