JEJAK SEJARAH MERUPAKAN LEBUH WAKIL UTUSAN GOLONGAN DALAM KEANGGOTAAN MPR RI
JEJAK SEJARAH MERUPAKAN LEBUH WAKIL UTUSAN GOLONGAN
DALAM KEANGGOTAAN MPRI RI
Santiamer Silalahi, C.Me*)
19 Mei 1998, Mahasiswa menududuki Gedung DPR/MPR RI
PENDAHULUAN
Berbicara tentang WAKIL utusan golongan dalam keanggotaan MPR RI haruslah berpangkal dari nilai-nilai Hukum Adat Nusantara; Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928; sejarah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dan sesudah perubahan dalam praktek ketatanegaraan.
Pada satu sisi, nilai-nilai Hukum Adat Nusantara merupakan sumber utama setiap isi yang diberikan kepada Pancasila. Pada sisi lain, Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan rangkaian bangunan-bangunan kecil (klein republiken) dari Masyarakat Hukum Adat Nusantara. Dalam sumpah pemuda tergambarkan cita putra-putri Indonesia (berlatar belakang, suku, adat-budaya dan agama yang berbeda-beda) untuk mewujudkan Indonesia satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangriwa. UUD 1945 sebelum perubahan merupakan Undang-Undang Dasar yang dibahas dan dirumuskan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang selanjutnya disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945. UUD 1945 sesudah perubahan merupakan Undang-Undang dasar yang perubahannya berlangsung satu kali dalam empat tahap (1999-2002) pada era reformasi tahun 1998 oleh MPR RI hasil Pemilihan Umum 1999 selanjutnya disahkan pada tahun 2002.
GEISTLICHEN HINTERGRUND PENGUSUL WAKIL UTUSAN GOLONGAN
Untuk mengetahui geistlichen hintergrund (suasana batin) pengusul supaya ada wakil utusan golongan dalam keanggotaan MPR RI ada baiknya mendasarkan pemikiran pada fakta antropologi dan geografi rakyat Indonesia. Antropologi, bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, bahasa, hukum adat dan budaya yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Geografi, suku-suku bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan berbeda-beda tersebut tinggal pada teritori yang berbeda-beda pula bukan dalam satu pulau tetapi pada ribuan pulau-pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dan dari Alor sampai Miangas. Namun dipersatukan oleh faham “Kesatuan dalam Keberagaman, Keberagaman dalam Kesatuan (Bhinneka Tunggal Ika).
1. ERA PROSES PEMBENTUKAN UUD
Meneropong UUD dalam sejarah pembentukannya, hendaklah jalan pikiran dipangkalkan pada “instruksi “ UUD yang terdapat dalam penjelasan UUD sebagai berikut :“……yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan negara, kalau para pemimpin pemerintah itu bersifat perseorangan(kelompok /golongan. Pen), UUD tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek. Sebaliknya, meskipun UUD itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik (persatuan, pen), UUD itu tidak akan merintangi jalannya negara”.
Pemahaman sejarah pembentukan UUD 1945 akan menuntun kita pada kesimpulan, bahwa dasar filsafat, dasar jiwa pembentukan UUD adalah Pancasila yang tergambar dengan jelas dalam pembukaan (Preambule) UUD NKRI 1945.
Dari serangkaian diskusi dan perdebatan panjang para founding fathers pada sidang-sidang BPUPK, adanya utusan golongan dalam keanggotaan Majelis Permusyawaratan merupakan geistlichen hintergrund yang terekam antara lain dalam fakta sejarah :
1) Tanggal 10 Juli 1945, BPUPK bersidang lagi, maka setelah mendengar ketua panitia, Ir. Sukarno dalam laporannya tentang hasil pekerjaannya mengadakan sistematika dari Indonesia yang kelak akan didirikan, maka dibentuklah beberapa komisi sebagai persiapan untuk mendirikan Indonesia Merdeka. Salah satu dari komisi-komisi itu adalah Panitia Perancang UUD yang diketuai oleh Ir. Sukarno.
2) Pada sidang BPUPK tanggal 11 Juli 1945, Muhammad Yamin menyampaikan pandangannya sebagai berikut : “Majelis Permusyawaratan Rakyat diduduki oleh wakil-wakil daerah, dan wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Wakil-wakil daerah sangat perlu karena Indonesia yang terdiri atas beberapa daerah, wakil-wakilnya tidak menurut banyaknya penduduk dalam daerah saja, melainkan pula dengan melihat keadaan daerah, maka diadakanlah wakil untuk mewakili daerah dalam permusyawaratan. Demikian pula dalam Majelis duduk wakil-wakil golongan rakyat.” Pendapat Yamin tersebut ditegaskan lagi oleh Prof. Supomo dalam forum yang sama, “Majelis Permusyawaratan Rakyat harus terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, sehingga Majelis itu akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan rakyat.”
3) Pendapat Yamin dan Supomo tersebut memang tidak terlihat membatasi Utusan Golongan dalam konteks masyarakat ekonomi saja sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan pasal 2 UUD 1945 (sebelum perubahan). Dalam prakteknya, wakil-wakil golongan-golongan dalam MPRS (Orde Lama) terdiri dari: Golongan Tani, Golongan Buruh/Pegawai Negeri, Golongan Pengusaha Nasional, Golongan Koperasi, Golongan Angkatan “45, Golongan Angkatan Bersenjata, Golongan Veteran, Golongan Alim Ulama, Golongan Pemuda, Golongan Wanita, Golongan Seniman, Golongan Wartawan, dan Golongan Cendekiawan/Pendidik.
2. AWAL KEMERDEKAAN
Bunyi pasal IV Aturan Peralihan : “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat. Dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional (KNIP). Keanggotaan KNIP beberapa kali mengalami pembaharuan. Pertama kali anggota KNIP terdiri atas 200 orang. Pada 18 April 1946, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1946 terdiri dari 200 anggota dengan komposisi 100 wakil daerah, 60 wakil organisasi politik, dan 40 ditunjuk oleh presiden.
3. MASA KONSTITUSI RIS
Sistem perwakilan menurut Konstitusi RIS menganut sistem dua kamar ( bicameral ), yang meliputi perwakilan politik dan perwakilan kewilayahan. Hal itu diwujudkan dalam lembaga Senat RIS dan DPR. Senat RIS anggotanya 32 orang. Senat mewakili daerah-daerah bagian. Setiap daerah bagian mempunyai dua anggota Senat. Anggota-anggota Senat ditunjuk oleh Pemerintah daerah-daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi.
Di samping dua badan perwakilan rakyat, tersebut di atas, Konstitusi RIS mengenal adanya badan Konstituante. Konstituante ini dibentuk dengan jalan memperbesar DPR yang dipilih dari Senat baru, ditambah dengan anggota-anggota luar biasa.
4. MASA UUDS 1950
Pembentukan negara federal mengandung banyak sekali nuansa politis, terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda. Oleh karena itu, bentuk negara RIS tidak dapat bertahan lama.
Dengan kembali menjadi negara kesatuan, Konstitusi RIS tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu dibentuk UUDS 1950 dengan bentuk negara kesatuan. UUDS 1950 merupakan perbaikan dan gabungan dari Konstitusi RIS dan UUD 1945. Lembaga perwakilan berdasarkan UUDS 1950 adalah DPR yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan Pasal 56 UUDS 1950, DPR terdiri atas sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia mempunyai seorang wakil. Adapun golongan kecil (minoritas) Tionghoa, Eropa, dan Arab mempunyai wakil dalam Dewan Perwakilan rakyat dengan berturut-turut sekurang-kurangnya Sembilan, enam, dan tiga anggota.
Pada masa UUDS 1950 terbentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum. Berdasarkan ketentuan tersebut dilaksanakan pemilu pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan sebanyak 260. Sedangkan jumlah kursi Dewan Konstitante sebanyak 520 ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
5. MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Di dalam Konstituante, terjadi pembahasan yang tidak kunjung dapat diambil keputusan mengenai dasar negara. Terhadap kondisi tersebut, Presiden menyarankan untuk kembali ke UUD 1945. Namun saran tersebut juga tidak dapat diputuskan karena dalam tiga kali pemungutan suara, tidak dicapai suara mayoritas yang dipersyaratkan, yaitu 2/3 dari anggota yang hadir. Akhirnya Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.
Dalam rangka melaksanakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu isinya adalah membentuk MPRS, Presiden pada 22 Juli 1959 mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1959 tentang pembentukan MPRS. Pasal 1 Penpres tersebut menyatakan bahwa susunan MPRS terdiri atas anggota DPRGR ditambah dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Untuk Utusan Daerah dan Utusan Golongan diatur dalam Peraturan Presiden No. 12/1959. Utusan Daerah berjumlah 94 orang, yang terdiri atas wakil 24 daerah propinsi yang jumlahnya berkisar antara tiga sampai lima orang. Sedangkan yang dimaksud dengan Utusan Golongan terdiri dari 13 macam golongan-golongan Tani, Buruh/Pegawai Negeri, Golongan Pengusaha Nasional, Koperasi, Angkatan Bersenjata, Veteran, Alim Ulama-Islam, Katolik, Protestan, Hindu Bali-Pemuda, Wanita, Wartawan, dan Cendikiawan/Pendidikan. Jumlah keseluruhan Utusan Golongan tersebut adalah 200 orang.
6. MASA ORDE BARU DPRGR
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, dilakukan upaya pembersihan di lembaga perwakilan, yaitu DPRGR. Pimpinan DPRGR pada Nopember 1965 membekukan keanggotaan DPRGR dari fraksi PKI yang tertuang dalam Keputusan Nomor 13/Pimp/I/1965-1966. Berdasarkan dua keputusan pimpinan DPRGR tersebut, 62 anggota DPRGR dibekukan sehingga jumlah anggota DPRGR menjadi 237 orang. Keputusan itu didukung oleh hasil Sidang Paripurna DPRGR yang diselenggarakan pada 15 Nopember 1965.
Pada Maret 1968 dilakukan sidang Umum MPR Ke-V. Salah satu ketetapan yang dihasikan adalah Ketetapan Nomor XLII/MPRS/1968 yang mengamanatkan pelaksanaan pemilihan umum selambat-lambatnya pada 5 Juli 1971.
Pemilihan umum untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD pertama kali dilakukan berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 1969. Selanjutnya, MPR, DPR, dan DPRD dipilih melalui pemilihan umum lima tahun sekali hingga pemilihan umum terakhir di masa Orde Baru pada 1997. Komposisi dan kedudukan lembaga permusyaratan dan perwakilan diatur dalam UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. MPR tetap merupakan lembaga tertinggi yang anggotanya terdiri atas anggota DPR ditambah utusan golongan-golongan dan utusan daerah-daerah. Kedudukan dan hubungan lembaga tertinggi negara dengan/atau antar lembaga tinggi Negara diatur berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978.
7. MASA REFORMASI
1) Periode Tahun 1998 - 1999
Kekuasaan Orde baru mulai goyah pada saat bangsa Indonesia didera oleh krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi serta krisis multidimensi. Demonstrasi mahasiswa menuntut mundurnya Presiden Soeharto semakin menguat. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengumumkan pernyataan berhenti yang diikuti dengan pengambilan sumpah Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung (MA).
Pemilihan umum dilaksanakan pada 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik. Terdapat 21 partai yang memperoleh kursi di DPR. Partai-partai yang mendapatkan kursi di atas 10 adalah PDIP (153), Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (34), dn PBB (13). Selain menetapkan hasil pemilu, KPU sebagai perwakilan partai politik juga menetapkan jenis dan jumlah anggota MPR dari Utusan Golongan, yaitu sebanyak 9 jenis golongan. Kesembilan golongan itu adalah golongan agama (20 orang); golongan veteran, perintis kemerdekaan, dan pejuang (5 orang); golongan ekonomi dan badan-badan kolektif lain (9 orang); golongan perempuan (5 orang); golongan etnis minoritas (5 orang); golongan penyandang cacat (2 orang); golongan budayawan, ilmuwan, dan cendekiawan (9 orang); golongan pegawai negeri sipil (5 orang); dan golongan mahasiswa, pemuda, dan LSM (5 orang). Selain itu, juga terdapat Utusan Daerah yang dipilih oleh masing-masing provinsi. Hasil Pemilu ini merupakan tonggak berakhirnya hegemoni Partai Golkar selama 32 tahun, sekaligus Partai yang tumbuh yang mengganggap dirinya kekuatan reformis tidak ada yang memperoleh mayoritas di parlemen. MPR pertama di masa reformasi adalah MPR yang terbentuk sebagai hasil dari pemilihan umum 1999 ini dengan sistem multipartai. Anggota dari unsur TNI/Polri yang semula berjumlah 75 orang berkurang menjadi 38 orang. Utusan daerah dipilih oleh DPRD Provinsi.
Di tengah maraknya tuntutan perubahan UUD, MPR menggelar Sidang Istimewa (SI) pada 10–13 November 1998. SI MPR mengagendakan pembahasan mengenai tuntutan reformasi. Berbagai isu yang mengemuka selama reformasi dikaji dan kemudian dituangkan dalam bentuk ketetapan-ketetapan MPR.
Meskipun dalam SI MPR 1998 belum dicapai kesepakatan untuk melakukan perubahan UUD 1945, jalan menuju perubahan UUD sudah dipersiapkan. MPR mengeluarkan tiga ketetapan MPR yang berkaitan langsung dengan tuntutan reformasi konstitusi. Tiga ketetapan itu memang tidak secara langsung mengubah UUD 1945, tetapi telah menyentuh materi muatan UUD 1945.
Berbagai pengaturan di atas dikeluarkan dalam suasana dan semangat keluar dari keterbelengguan berkelindan dengan gundukan amarah rakyat selama ini. Setelah terbitnya beberapa ketetapan yang sudah memuat materi amandemen, kehendak dan kesepakatan untuk melakukan perubahan semakin mengerucut dan mengkristal di semua kalangan.
2) Periode Tahun 1999 – 2002
Pasca Sidang Istimewa
MPR, fraksi-fraksi MPR sebagian besar memiliki pandangan yang sama dan
kebutuhan bersama melakukan perubahan UUD 1945. Mengutamakan kepentingan
bersama dari pada kepentingan pribadi dan kelompok. Berbagai pandangan dan
masukan masyarakat diberikan kepada MPR khususnya baik saat Sidang Istimewa MPR
1999 maupun saat berlangsung Sidang Umum MPR 1999.
Tercatat antara lain yang memberi masukan: Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip), Pengajar FISIP Universitas Indonesia. Dr. H. Ruslan Abdul Gani memberi masukan khususnya tentang MPR : “ MPR memiliki kedaulatan tertinggi. Namun dalam praktiknya kedaulatan MPR acap kali berada di bawah pengaruh Presiden yang pada masa lalu kekuasaannya terlalu kuat. Kekuasaan yang sangat besar di tangan satu orang terbukti sangat merugikan.”
Selanjutnya MPR melakukan sidang-sidang untuk mencapai kesepakatan melakukan amandemen UUD 1945. Kesepakatan untuk melakukan perubahan UUD 1945 dicapai secara bulat di kalangan anggota MPR menjelang SU MPR 1999, setelah sebelumnya dilakukan serangkaian pertemuan wakil-wakil partai politik untuk melakukan perubahan UUD 1945. Berdasarkan kesepakatan tersebut, setiap partai politik menyampaikan agenda perubahan UUD 1945 dalam Pemandangan Umum Fraksi saat SU MPR 1999 dilaksanakan.
Salah satu pasal dalam UUD 1945 yang disepakati MPR untuk diamandemen adalah pasal 2 dan pasal 3 UUD 1945 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Setelah fraksi-fraksi partai melewati serangkaian perdebatan panjang, maka disepakati bersama status lembaga negara MPR bukan lembaga tertinggi lagi, tetapi lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi DPR, lembaga tinggi Pemerintah, dan lembaga tinggi negara lainnya ; menghapuskan kewenangan menetapkan GBHN; Menghapuskan utusan golongan dari keanggotaan MPR menjadi hanya terdiri dari DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
8. PASCA REFORMASI
Tuntutan untuk mengubah UUD 1945 dilandasi oleh pandangan bahwa UUD 1945 kurang memberikan landasan yang kuat bagi penyelenggaraan negara yang demokratis, pemenuhan hak-hak warga negara, dan membatasi kekuasaan pemerintahan negara.
Tujuan amandemen UUD 1945, pertama : Untuk menyempurnakan beberapa aturan dasar yang berkaitan dengan tatanan negara dalam rangka untuk mencapai tujuan nasional yang telah tercantum dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Selain itu juga untuk memperkokoh atau memperkuat NKRI yang dasar negaranya adalah Pancasila. Kedua : Untuk menyempurnakan aturan dasar yang berhubungan dengan jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan juga untuk memperluas partisipasi rakyat atau warga negara dalam pemerinthan agar menjadi negara yang sesuai dengan paham demokrasi. Ketiga : Untuk menyempurnakan aturan dasar yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara secara demokratis dan juga secara modern. Keempat : Untuk menyempurnakan aturan dasar yang berkaitan dengan jaminan dan perlindungan HAM atau Hak Asasi Manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945. Kelima : Untuk menyempurnakan aturan dasar yang berkaitan dengan jaminan konstitusional dan kewajiban suatu negara untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara yang maju dan sejahtera. Keenam : Untuk melengkapi aturan dasar yang sangat penting yang sebelumnya mungkin belum ada atau masih kurang terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara dalam mewujudkan negara yang demokratis, sebagai contoh adalah aturan yang berkaitan dengan pemilu dan pengaturan wilayah negara. Ketujuh : Untuk menyempurnakan aturan dasar tentang kehidupan bernegara dan juga berbangsa yang sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan negara Indonesia, selain itu juga untuk mengakomodasikan kecenderungannya untuk masa yang akan datang.
KESIMPULAN :
1. Dapat dikatakan bahwa keberadaan Utusan Golongan dalam ke -anggotaan MPR sebagaimana diketahui selama proses pembentukan UUD, di awal kemerdekaan yang terdapat dalam rancangan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dan prakteknya di masa Orde Lama, Orde Baru dan awal era Reformasi merupakan sebuah kesadaran sejarah terhadap lahirnya Indonesia sebagai negara bangsa. Bahwa Indonesia merupakan sebuah negara bangsa yang dilahirkan dalam keberagaman dan kearifan masyarakat nusantara yang memiliki kebudayaan dan masyarakat hukum adat sebagaimana tergambar dalam Sumpah Pemuda 1928 dengan komitmen kesatuan nusa bangsa, bahasa dan tanah air. Tidak terbantahkan, komitmen Sumpah Pemuda 1928 dilakukan oleh elemen pemuda yakni Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, Pemoeda Kaoem Betawi, dan lain-lain. Konfigurasi elemen pemuda tersebut tidak saja menunjukan dimensi kedaerahan tetapi juga variasi kebudayaan dan masyarakat hukum adat. Dikemudian hari komitmen Sumpah Pemuda tersebut termanifestasikan ke dalam Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
2. Itulah sebabnya, Kahin ( 1995 ) menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia kontemporer terutama berakar dalam keadaan negeri pada abad keduapuluh, namun beberapa dari akar-akarnya berasal dari lapisan sejarah yang lebih tua. Akar nasionalisme tersebut adalah kerajaan Sriwijaya (abad 9), kerajaan Majapahit (abad 14), negara Kolonial Hindia Belanda, didirikannya Majelis Rakyat (Volksraad) pada tahun 1917, agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat, perkembangan bahasa kesatuan Hindia Kuno sebagai bahasa Melayu pasar (lingua franca) menjadi bahasa nasional, serta diperkenalkannya sistem pendidikan Belanda diawal abad 19 dan pada awal abad ke 20 pemerintah Hindia Belanda mulai menyediakan fasilitas pendidikan bagi orang Indonesia secara terbatas sehingga lambat laun berkembang cikal bakal suatu kelompok menengah yang berpendidikan, sekalipun masih sangat kecil.
3. Dalam perubahan ketiga UUD 1945 yang dilakukan pada awal era Reformasi terjadi perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Anggota MPR masa bakti 1999-2004 merubah pasal 1 dan pasal 2 UUD 1945, antara lain, terkait dengan kekuasaan MPR, GBHN dan Utusan Golongan. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, GBHN dan Utusan Golongan dihapuskan. Pasal 2 ayat (1) UUD NKRI tahun 1945 (setelah Perubahan) menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Jelas, dengan tidak ada lagi Utusan Golongan membuat representasi kelompok masyarakat minoritas seperti unsur kebudayaan atau masyarakat hukum adat tidak lagi mendapatkan tempat khusus dalam keanggotaan MPR. Walaupun beberapa tokoh masyarakat hukum adat terpilih secara elektoral sebagai anggota MPR dalam pemilihan umum anggota DPR dan DPD tetapi secara umum elemen kebudayaan dan masyarakat adat tidak memiliki akses kekuasaan yang kuat dalam sistem ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945. Hal tersebut karena mereka tidak merepresentasikan elemen kebudayaan dan masyarakat hukum adat secara langsung.
4. Dalam perjalanan era reformasi dan implementasi UUD NKRI tahun 1945 (setelah perubahan), ternyata terjadi perkembangan Ipoleksosbudhankam yang justru semakin cenderung menyimpang dari tujuan awal amandemen UUD NKRI tahun 1945. Di tengah kekhawatiran terhadap penyimpangan tersebut muncul kehendak politik dari berbagai elemen masyarakat untuk melakukan perubahan kelima terhadap UUD NKRI tahun 1945 dengan isunya, antara lain, memperkuat MPR, menghidupkan kembali GBHN, dan memperkuat posisi DPD RI.
5. Dengan memperhatikan aspek kesejarahan terbentuknya negara ke-satuan Republik Indonesia, aspek kekinian seperti : Kondisi Ipoleksosbudhankam yang tiada kunjung membaik diperkuat oleh gelombang aspirasi masyarakat akan kehidupan yang lebih aman dan nyaman semakin menguat, maka sudah saatnya status lembaga MPR perlu dikembalikan sebagai penjelmaan rakyat semesta menjadi lembaga tertinggi negara melalui pelibatan wakil Utusan Golongan Sosial Budaya/Agama dan LSM dalam keanggotaan MPR RI.Jejak Sejarah merupakan lebuh wakil utusan golongan dalam keanggotaan MPR RI. Semoga.
-------*******-------
__________________
*) Santiamer Silalahi, C.Me Sedang menempuh studi Hukum di Universitas Mpu Tantular; Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Lokus Adat Budaya Batak (DPP-LABB) 2019-2022; Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Kerukunan Masyarakat Hukum Adat Nusantara (DPN-KERMAHUDATARA), 2016-2021; 2021-2026; Ketua Umum Jaga Pancasila Zamrud Khatulistuwa (GALARUWA) 2022-2027; Ketua LBH dan Juru Bicara Jaringan Jaringan Petani Persada Nusantara (JPPN).
DAFTAR PUSTAKA
1. Soediman Kartohadiprodjo, 1968. Pantja-Sila dan/dalam Undang Undang Dasar 1945. Bandung.
2. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Buku I : Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Edisi Revisi. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.
Comments
Post a Comment