PELUANG DAN TANTANGAN PENETAPAN SERTA PEMBENTUKAN DESA ADAT DI TENGAH OBESITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG DESA
PELUANG DAN TANTANGAN
PENETAPAN DAN PEMBENTUKAN DESA ADAT
DI TENGAH OBESITAS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG DESA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MPU TANTULAR
Santiamer Silalahi, C.Me., Nim : 243300020039
Dosen Pengampu : Serepina Tiurmaida, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom
1. PENDAHULUAN
Berlandaskan pada kesejarahan dan konstitusional, desa adalah organisasi kesatuan masyarakat adat (Self governing community), bukan organisasi pemerintahan formal yang menjalankan fungsi-fungsi administrasi dari negara (Local state government), bukan juga sebagai daerah otonom atau Local self-government (Sutoro Eko).
Paradigma Mahkamah Konstitusi tentang desa lebih menegaskan bahwa desa di Indonesia adalah rantai terbawah rezim pemerintah (Local government) bukan Local self-government sebagaimana dikemukakan Sosiolog Pedesaan dari IPB Bogor, Ivanovich Agusta. Paradigma tersebut merupakan landasan yuridis lahirnya Keputusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 128/PUU-XIII/2015 tentang asal calon perangkat desa dan kepala desa. Kemudian, Mahkamah Konstitusi RI menganulir Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU No. : 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Local government merupakan bagian dari sistem administrasi pemerintah daerah (Kabupaten/kota). Meminjam kata-kata John Clark, Local government timbul sebagai bagian dari pemerintahan negara atau pemerintahan daerah yang utamanya mengurus hal-hal yang berhubungan dengan penduduk/warga suatu daerah tertentu. Hal-hal yang berhubungan dengan penduduk/warga atau Masyarakat Hukum Adat, adalah hak-hak ulayat dan sistem hukum adat yang dianut dan diakui oleh masyarakat hukum adat.
Local self government atau desa otonom atau daerah otonom tingkat-III, bukan bagian dari sistem administrasi pemerintah daerah. Pengendalian oleh pemerintah diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 22/1948 dan UU No. 19/1965.
Self governing community adalah desa yang sistem pemerintahannya tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan pembangunan yang diberikan oleh pemerintah, tidak perlu ada Sekretaris Desa yang diisi oleh PNS, tidak perlu ada ADD, melainkan hanya mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Self governing community atau Desapraja adalah, kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berhak mengurus rumah tangga sendiri, memilih penguasa, dan mempunyai harta benda sendiri. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Self governing community atau “zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeens-chappen”.
2. SEJARAH KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu dari tulisan ini, bahwa Local self government atau desa otonom atau daerah otonom tingkat III, bukan bagian dari sistem administrasi pemerintah daerah. Sedangkan Self governing community adalah desa yang sistem pemerintahannya tidak menjalankan tugas-tugas administrasi dan pembangunan yang diberikan oleh pemerintah, tidak perlu ada Sekretaris Desa yang diisi oleh PNS, tidak perlu ada ADD, melainkan hanya mengatur dan mengurus masyarakat setempat.
Walaupun secara konstitusi benar, namun membuat desa menjadi self governing community adalah kemunduran. Membawa desa menjadi local self government adalah kebablasan dan bertentangan dengan konstitusi. Sampai dengan sekarang pemerintah masih menerapkan desa atau desa adat atau yang disebut dengan nama lain. Perbedaan kedua jenis desa tersebut, antara lain tampak pada pengertiannya, perangkat pimpinan dan tata kelolanya, serta tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Desa terkaya di Indonesa, Desa Kutuh terletak Selatan Badung ini memiliki pendapatan mencapai Rp 50 Miliar pertahun
4. DESA ATAU DESA ADAT DAN KEKUATAN NASIONAL.
Dalam tulisan berjudul “Keberadaan Desa/Desa Adat merupakan Sumber Pusat Kekuatan Strategik Bangsa Indonesia (Indonesian Strategic Center of Gravity) , Brigjen TNI (Purn) Junias Marvel Lumbantobing, M.Sc mengemukakan : “ Berdasarkan catatan sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui kegiatan organisasi kepemudaan di bidang kebudayaan, pendidikan, dan kesehatan atas kesadaran atau panggilan hati nurani etnik kekulturan dari berbagai suku bangsa yang ada di Nusantara. Kegiatan ini pada akhirnya mencetuskan Sumpah Pemuda (Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Persatuan : Indonesia). Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir dari kultur atau budaya bukan dari kegiatan organisasi politik ataupun dari kekuatan lainnya. Jadi semangat persatuan dan kesatuan ke-Indonesia-an Sumpah Pemuda tersebut berasal dari kekuatan Sosial Budaya dan adat istiadat serta kearifan lokal yang pada akhirnya menciptakan nasionalisme Indonesia.
Kekuatan Sosial Budaya yang lahir dari adat istiadat dan budaya berbagai suku bangsa yang ada di nusantara lebih tumbuh subur dan berkembang di pedesaan dibandingkan di perkotaan. Sumber pusat kekuatan bangsa Indonesia yang berada di Desa/Desa Adat sangat sulit dihancurkan karena calon lawan harus memperhitungkan berbagai karakteristik (Semangat persatuan dan kesatuan, kekuatan Sosial Budaya dan kearifan lokal), kebebasan bertindak, kekuatan dan kemampuan fisik serta semangat juang yang dimilki oleh masing-masing Desa/Desa Adat.
Dengan demikian sejak jaman perjuangan pergerakan kebangsaan/perintis kemerdekaan keberadaan Desa/Desa Adat telah menciptakan Pusat Kekuatan Strategik (Strategic Center of Gravity) bangsa Indonesia”
Dalam lingkup nasional maka tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa, mengabaikan Desa atau Desa Adat sama saja dengan memperlemah kekuatan Nasional Indonesia karena Desa atau Desa Adat adalah sumber peradaban tempat berkembangnya nilai-nilai budaya dan tradisi adat istiadat serta kearifan lokal yang harus dibangun, dilindungi, dan dilestarikan.
Mengabaikan kekuatan nasional membuat ketahanan nasional menjadi rapuh yang pada gilirannya menjadi sumber porak porandanya seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan hancurnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
1. Obesitas peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa adat tidak menjadi penghalang untuk tetap memperjuangkan penataan Desa Adat atas prakarsa masyarakat itu sendiri, karena masih ada ruang dalam klausul-klausul peraturan perundang-undangan yang bisa dimanfaatkan untuk menata Desa Adat.
2. Desa atau Desa Adat adalah sumber Pusat Kekuatan Strategik (Strategic center of Gravity) bangsa Indonesia. Mengabaikan pembangunan desa sama saja dengan memperlemah kekuatan nasional Indonesia yang pada gilirannya akan menggerogoti Ketahanan Nasional Indonesia.
3. Menata Desa Adat adalah keniscayaan yang harus diupayakan terus-menerus perwujudannya. Peran aktif pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota merupakan prasyarat yang tidak boleh ditawar-tawar. Political will pemerintah untuk menata Desa Adat sangat dibutuhkan.
5.2. SARAN-SARAN
1. Para penggiat sosial budaya dan kemasyarakatan dianjurkan menggunakan term-term tentang Desa atau Desa Adat yang sesuai dengan nomenklatur yang telah digunakan oleh pemerintah dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian kesalah pahaman dengan pemerintah dapat dihindari.
2. Melihat kecenderungan pemerintah untuk mengorganisir dan memberdayakan Desa atau Desa Adat yaitu dimulai dengan penetapan Masyarakat Hukum Adat baik di tingkat Desa maupun Kabupaten/Kota, maka sudah saatnya paguyuban marga/suku-suku nusantara mengorganisir diri dalam suatu lembaga masyarakat adat berdasarkan genealogis, teritorial atau gabungan keduanya yang diakui oleh Pemerintah.
3. Paguyuban marga/suku-suku nusantara dianjurkan lebih proaktif atau jemput bola kepada pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mengisi lembaga kemasyarakatan Desa/Desa Adat, Badan Perwakilan Desa/Desa Adat, dan lembaga Desa/Desa Adat sehingga pengawasan penggunaan dana desa, Alokasi dana Desa dapat lebih efektif baik pada tahap pra perencanaan (Penyusunan RPJMDes, RKPDes) dan tahap eksekusi hingga pelaporan. Demikian juga peradilan Adat dapat direalisasikan.
Daftar
bacaan :
1.
Harian
Kompas, 26 Agustus 2016, Ivanovich Agusta : “Desa
Dalam Rejim Pemerintahan”
2.
www.bpn.go.id, “Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat”
3.
www.bpnb.go.id, “Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Terluar”
4.
www.cifdes.web.id, “Peraturan Menteri Dalam Negei RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penataan
Desa”
5.
www.ditjenpp.kemenkumham.go.id,
“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah”
6.
www.ditjenpp.kemenkumham.go.id,
“Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah”
7.
www.ditjenpp.kemenkumham.go.id,
“Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah”
8.
www.ditjenpp.kemenkumham.go.id,
“Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa”
9.
www.dpr.go.id, “Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”
10. www.dpr.go.id,
“Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah
Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia”
11. www.hukumonline.co,
“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Linkungan Hidup”
12.
www.kemendagri.go.id, “Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat”
13. ww.mahkamahkonstitusi.go.id, “Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012 Pengujian Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan”
14.
www.rimbawa,com, “Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan”
15. Zakaria, Yando. R (2014), : “Konstitusionalitas dan Urgensitas Penetapan Kriteria dan Indikator serta Mekanisme Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat”
Comments
Post a Comment